Headlines News :
Home » » Gender Equality Dalam Pembangunan

Gender Equality Dalam Pembangunan

Written By Rumah Baca Philosophia on Senin, 01 Juli 2013 | 09.21

Berbagai indikator dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu Negara tidak hanya melihat dari satu aspek (ekonomi) namun lebih jauh masuk pada wilayah sosial-ekonomi. Salah satu indkator aspek sosial ekonomi untuk menunjukkan keberhasilah pembangunan adalah gender equality (keseteraan gender). Keseteraan gender dilihat sebagai pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan.

Diberbagai Negara, khususnya dinegara underdevelop country kesetaraan gender menjadi salah satu fokus dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap sumberdaya ekonomi perempuan seringkali mengalami diskriminasi. Diskriminasi terkadang berlangsung secara alamiah dari lingkungan atau sering disebut sebagai konstruk social atau dibeberapa Negara merupakan produk budaya local yang diwariskan secara turun temurun. Dalam lingkungan interaksi di masyarkat perempuan sering diperlakukan tidak sama dengan laki-laki. Adanya perbedaan dari segi “fisik” membuat sebagian masyarakat memposisikan perempuan sebagai mahluk yang lemah sehingga dalam berbagai hal perannya harus dikurangi.

Selain itu dalam tulisan Nancy Folbre and Julie A. Nelson bahwa sejak dulu pembagian peran antara perempuan dan laki-laki telah terjadi dengan adanya semacam kontrak sosial yang dibangun dalam masyarakat. Kontrak sosial yang tidak tertulis namun mengikat masyarakat dianggap sebagai sebuah norma yang menjadi panduan dalam menjalankan segala aktivitas (ekonomi, politik, sosbud dll). Misalnya perempuan lebih banyak berperan sebagai “homemaking” (dapur dan ranjang) ketimbang terlibat dikegiatan publik.

Semua cara pandang tentang perempouan ini kemudian membawa pengaruh besar tentang bagaimana peran perempuan dalam pembangunan ekonomi. Laporan bank dunia tahun 2012 yang berjudul “Gender Equality And Development” merilis bebarapa temuan penting tentang sejauh mana pembangunan dapat merduksi kesenjangan gender.  Dalam aspek ekonomi misalnya peran perempuan sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan gender yang kecil dapat memebrikan pengaruh terhadap produktivitas, berperan memperbaiki generasi selanjutnya dan membuat institusi Negara lebih representative. Todaro menyebut perempuan sebagai actor yang mengarahkan kualitas generasi selanjutnya. Baiknya kualitas perempuan (ibu) dalam suatu rumah tangga (kesehatan dan pendidikan) akan menjamin kualitas anak yang menjadi modal sumber daya manusia dalam pembangunan.

Dilihat dari indikator kesehatan dan pendidikan, kesenjangan gender mengalami perbaikan setiap tahunya. Dalam laporan bank dunia tahun 2012 terjadi perbaikan dalam berbagai aspek seperti pendaftaran pendidikan, usia harapan hidup, partisipasi tenaga kerja perempuan.
Seiring dengan cepatnya pembangunan, kesenjangan gender perlahan mulai mengalami perbaikan. Misalnya pendaftaran pendidikan baik untuk pendidikan dasar maupun pendidkan menengah jumlah siswa perempuan mengalami peningkatan setiap tahun.

Grafik menunjukkan dibeberapa bagian Negara seperti East Asia and Pasifik, Uerope and Central Asia, Latin Amerika, South Asia, Sub Saharan Africa menunjukkan tingkat partisipasi pendidikan yang membaik, meskipun masih terjadi beberapa kesenjangan dibeberapa Negara tersebut. Namun secara keseluruhan partsipasi perempuan dalam pendidikan (Primary dan Secondary) mulai menunjukkan perbaikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan menjadi faktor penyebab mengapa perempuan harus masuk pada sekolah formal. Namun pun begitu, kuatnya budaya dibeberapa Negara/kontrak sosial masih sulit untuk dibendung sehingga dibeberapa Negara termasuk Indonesia masalah kesenjangan gender masih terjadi.

Di Indonesia sendiri angka partisipasi pendidikan menujukkan tren yang positif. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. Berdasarkan data Susenas menujukkan semakin membaiknya partispasi perempuan dalam setiap jenjang pendidikan.

Diantara jenjang pendidikan, APM perempuan perguruan tinggi cenderung lebih rendah. Penulis menduga bahwa banyaknya masyarakat khususnya desa masih menganggap bahwa perempuan tidak harus sekolah sampai perguruan tinggi. Dalam laporan capaian MDGS menunjukkan beberapa factor yang menyebabkan rendahnya tingkat APM perempuan pada jejang pendidikan atas disebabkan karena Jumlah sekolah yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan lakilaki. Perkawinan dini juga diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Temuan Bappenas tahun 2008, menunjukkan bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak dan kecenderungan pernikahan dini didesa lebih besar dibandingkan dengan kota dengan berbagai alasan seperti faktor ekonomi, rasa malu dan hubungan kekerabatan.
Dari sisi partisipasi tenaga kerja perempuan mengalami perbaikan setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Dalam kajian Folbre hal itu disebabkan arena banyaknya perempuan termasuk ibu rumah tangga yang masuk ke lapangan pekerjaan berbayar banyaknya perempuan yang masuk dalam lapangan pekerjaan berbayar disebabkan karena tingginya kebutuhan hidup dan rendahnya upah yang diterima kepala rumah tangga (laki-laki). Selain itu, perempuan perlahan ingin  mengambil peran lebih ditengah public dan tidak ingin lagi terikat oleh kontrak social (budaya) yang selalu memposisikan perempuan hanya “penjaga rumah”. Perempuan sudah mengambil peran ditengah public bahkan khusu untuk politik Indonesia telah mewajibkan keterwakilan perempuan 30% dalam parlemen.

Implikasi yang menarik dari banyaknya perempuan termasuk ibu rumah tangga yang masuk dilapangan pekerjaan berbayar adalah mereka mengorbankan waktu luang mereka untuk merawat anak-anak mereka, melayani dengan baik suami-suami mereka atau bahkan menitipkan orang tua mereka ke tempat penitipan orang tua jompo. Bahkan bagi keluarga yang masing-masing bekerja mereka harus menyewa tenaga pengasuh bayi atau menitipkan di tempat penitipan anak. Kondisi itu terjadi dibeberpa Negara di Dunia khsuusnya dinegara maju seperti Amerika dan bagi Negara berkembang termasuk Indonesia.

Oleh: Syahril ( Peneliti Philosophia Institute)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Mengenai Kami

Foto saya
Jika Ionia, tempat bermulanya pemikiran Yunani, dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan Barat, maka diharapkan kehadiran Rumah Baca Philoshopia dan taman baca lainnya yang ada di Makassar akan menjadi spirit dan benih revolusi paradikmatik di Kota Anging Mamiri ini.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Rumah Baca Philosophia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template