Berbagai indikator dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu
Negara tidak hanya melihat dari satu aspek (ekonomi) namun lebih jauh
masuk pada wilayah sosial-ekonomi. Salah satu indkator aspek sosial
ekonomi untuk menunjukkan keberhasilah pembangunan adalah gender equality (keseteraan gender). Keseteraan gender dilihat sebagai pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan.
Diberbagai
Negara, khususnya dinegara underdevelop country kesetaraan gender
menjadi salah satu fokus dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Dalam
berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap
sumberdaya ekonomi perempuan seringkali mengalami diskriminasi.
Diskriminasi terkadang berlangsung secara alamiah dari lingkungan atau
sering disebut sebagai konstruk social atau dibeberapa Negara merupakan
produk budaya local yang diwariskan secara turun temurun. Dalam
lingkungan interaksi di masyarkat perempuan sering diperlakukan tidak
sama dengan laki-laki. Adanya perbedaan dari segi “fisik” membuat
sebagian masyarakat memposisikan perempuan sebagai mahluk yang lemah
sehingga dalam berbagai hal perannya harus dikurangi.
Selain itu
dalam tulisan Nancy Folbre and Julie A. Nelson bahwa sejak dulu
pembagian peran antara perempuan dan laki-laki telah terjadi dengan
adanya semacam kontrak sosial yang dibangun dalam masyarakat. Kontrak
sosial yang tidak tertulis namun mengikat masyarakat dianggap sebagai
sebuah norma yang menjadi panduan dalam menjalankan segala aktivitas
(ekonomi, politik, sosbud dll). Misalnya perempuan lebih banyak berperan
sebagai “homemaking” (dapur dan ranjang) ketimbang terlibat dikegiatan
publik.
Semua cara pandang tentang perempouan ini kemudian membawa
pengaruh besar tentang bagaimana peran perempuan dalam pembangunan
ekonomi. Laporan bank dunia tahun 2012 yang berjudul “Gender Equality And Development”
merilis bebarapa temuan penting tentang sejauh mana pembangunan dapat
merduksi kesenjangan gender. Dalam aspek ekonomi misalnya peran
perempuan sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan
gender yang kecil dapat memebrikan pengaruh terhadap produktivitas,
berperan memperbaiki generasi selanjutnya dan membuat institusi Negara
lebih representative. Todaro menyebut perempuan sebagai actor yang
mengarahkan kualitas generasi selanjutnya. Baiknya kualitas perempuan
(ibu) dalam suatu rumah tangga (kesehatan dan pendidikan) akan menjamin
kualitas anak yang menjadi modal sumber daya manusia dalam pembangunan.
Dilihat
dari indikator kesehatan dan pendidikan, kesenjangan gender mengalami
perbaikan setiap tahunya. Dalam laporan bank dunia tahun 2012 terjadi
perbaikan dalam berbagai aspek seperti pendaftaran pendidikan, usia
harapan hidup, partisipasi tenaga kerja perempuan.
Seiring dengan
cepatnya pembangunan, kesenjangan gender perlahan mulai mengalami
perbaikan. Misalnya pendaftaran pendidikan baik untuk pendidikan dasar
maupun pendidkan menengah jumlah siswa perempuan mengalami peningkatan
setiap tahun.
Grafik
menunjukkan dibeberapa bagian Negara seperti East Asia and
Pasifik, Uerope and Central Asia, Latin Amerika, South Asia, Sub Saharan
Africa menunjukkan tingkat partisipasi pendidikan yang membaik,
meskipun masih terjadi beberapa kesenjangan dibeberapa Negara tersebut.
Namun secara keseluruhan partsipasi perempuan dalam pendidikan (Primary
dan Secondary) mulai menunjukkan perbaikan. Kesadaran akan pentingnya
pendidikan menjadi faktor penyebab mengapa perempuan harus masuk pada
sekolah formal. Namun pun begitu, kuatnya budaya dibeberapa
Negara/kontrak sosial masih sulit untuk dibendung sehingga dibeberapa
Negara termasuk Indonesia masalah kesenjangan gender masih terjadi.
Di
Indonesia sendiri angka partisipasi pendidikan menujukkan tren yang
positif. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya
rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan
terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor
non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan
legislatif. Berdasarkan data Susenas menujukkan semakin membaiknya
partispasi perempuan dalam setiap jenjang pendidikan.
Diantara
jenjang pendidikan, APM perempuan perguruan tinggi cenderung lebih
rendah. Penulis menduga bahwa banyaknya masyarakat khususnya desa masih
menganggap bahwa perempuan tidak harus sekolah sampai perguruan tinggi.
Dalam laporan capaian MDGS menunjukkan beberapa factor yang menyebabkan
rendahnya tingkat APM perempuan pada jejang pendidikan atas disebabkan
karena Jumlah sekolah yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh diduga
lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan lakilaki.
Perkawinan dini juga diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Temuan Bappenas tahun
2008, menunjukkan bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008
adalah perkawinan anak dan kecenderungan pernikahan dini didesa lebih
besar dibandingkan dengan kota dengan berbagai alasan seperti faktor
ekonomi, rasa malu dan hubungan kekerabatan.
Dari sisi partisipasi
tenaga kerja perempuan mengalami perbaikan setidaknya dalam 10 tahun
terakhir. Dalam kajian Folbre hal itu disebabkan arena banyaknya
perempuan termasuk ibu rumah tangga yang masuk ke lapangan pekerjaan
berbayar banyaknya perempuan yang masuk dalam lapangan pekerjaan
berbayar disebabkan karena tingginya kebutuhan hidup dan rendahnya upah
yang diterima kepala rumah tangga (laki-laki). Selain itu, perempuan
perlahan ingin mengambil peran lebih ditengah public dan tidak ingin
lagi terikat oleh kontrak social (budaya) yang selalu memposisikan
perempuan hanya “penjaga rumah”. Perempuan sudah mengambil peran
ditengah public bahkan khusu untuk politik Indonesia telah mewajibkan
keterwakilan perempuan 30% dalam parlemen.
Implikasi
yang menarik dari banyaknya perempuan termasuk ibu rumah tangga yang
masuk dilapangan pekerjaan berbayar adalah mereka mengorbankan waktu
luang mereka untuk merawat anak-anak mereka, melayani dengan baik
suami-suami mereka atau bahkan menitipkan orang tua mereka ke tempat
penitipan orang tua jompo. Bahkan bagi keluarga yang masing-masing
bekerja mereka harus menyewa tenaga pengasuh bayi atau menitipkan di
tempat penitipan anak. Kondisi itu terjadi dibeberpa Negara di Dunia
khsuusnya dinegara maju seperti Amerika dan bagi Negara berkembang
termasuk Indonesia.
Oleh: Syahril ( Peneliti Philosophia Institute)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !