Headlines News :
Home » » Orasi Purna Bakti Abd.Madjid Sallatu

Orasi Purna Bakti Abd.Madjid Sallatu

Written By Rumah Baca Philosophia on Senin, 01 Juli 2013 | 10.11


Yang saya hormati, Dekan Fak.Ekonomi dan Bisnis Univ. Hasanuddin,
Prof.Dr. Muh. Ali, bersama Para Wakil Dekan
Para Guru Besar FEB – UH, serta Rekan-Rekan Dosen
Saudara-Saudara Pengurus Lembaga Kemahasiswaan 
serta Para Mahasiswa
Para Pejabat dan Staf Dalam Lingkup FEB-UH
Hadirin yang berbahagia,

Assalaamu Alaaikum Wr. Wb.

Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya untuk dapat berdiri di Podium ini, yang akan menandai Purna Bakti saya selaku Dosen FEB-UH terhitung mulai hari ini. Saya sangat bangga dan terharu, bahwa FEB-UH akan memulai suatu tradisi akademik baru, untuk memberikan kesempatan kepada setiap Dosen yang memasuki era Purna Baktinya, dengan menyiapkan mimbar akademik seperti ini.
Secara pribadi, saya sangat surprise dan karena itu ingin menyatakan rasa hormat serta penghargaan yang setingi-tingginya kepada Pimpinan FEB-UH yang telah memulai prakarsa seperti ini. Terlebih lagi, karena saya yang mendapatkan kesempatan pertama, selaku Dosen yang tidak menyandang jabatan selaku Guru Besar. Sekali lagi, saya sangat bangga dan terharu. Oleh karena itu, pada saat pertama kali diinformasikan tentang momentum ini, saya langsung menyanggupinya, meskipun saya sendiri belum memiliki substansi gagasan ataupun pandangan tentang apa yang akan saya ungkapkan dalam kesempatan mimbar akademik ini.

Satu hal yang pasti, langsung saja pikiran saya kembali menerawang dan mencoba mengingat kembali persentuhan pertama saya di Fakultas tercinta ini. Lebih dari 40 tahun yang lalu, tahun 1971, adalah Alm. Bapak Pakki Sallatu, lewat diskusi singkat dan cenderung dengan keputusan yang memveto, langsung mengantar dan mendaftarkan saya untuk menjadi Mahasiswa di Fakultas ini. Bahkan tanpa secuilpun berkas di tangan saya, hanya disepakati akan disusulkan kemudian. Itupun saya hanya didaftarkan lewat jendela tata-usaha. Karena sempitnya waktu Almarhum, yang sudah akan segera berangkat tugas belajar ke Amerika Serikat.

Hadirin yang berbahagia,

Cerita lama diatas, harus saya ungkapkan, hanya untuk mengawali bahwa sejak awal bahkan sampai saat memasuki usia pensiun di Fakultas ini, perjalanan hidup dan karir saya penuh dengan budi baik, dukungan, bimbingan serta pembinaan dari banyak sekali senior. Lebih dari itu, teman sejawat termasuk yang jauh lebih muda usianya, bahkan para mahasiswa, ikut berperan dan membantu dalam mengasah kemampuan akademik saya di Fakultas ini. Saya menjadi sangat sadar bahwa lautan Ilmu Ekonomi terlalu sangat luas untuk mampu dimengerti dan dipahami bila hanya ingin mengandalkan kemampuan akademik diri sendiri.

Saya menjadi teringat kembali mengapa saya memilih profesi sebagai Dosen, setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas ini, tahun 1978. Ada sejumlah alasan, tetapi yang masih sangat membekas adalah bahwa inilah kesempatan yang terbaik untuk tetap dapat belajar dan mempelajari Ilmu Ekonomi. Betapa tidak, lebih dari seperdua masa studi saya sebagai mahasiswa ‘karatan’ telah saya habiskan di dunia lembaga kemahasiswaan. Sesaat setelah ujian meja, ada kesadaran yang muncul di benak saya, sebagai orang yang bergelar sarjana ekonomi, bagaimana saya mampu mempertahankan predikat tersebut. Karena itu, saya harus menjadi dosen, walaupun harus menunggu antrian.

Dalam menunggu datangnya SK CPNS, tahun 1979, salah seorang Dosen dan Ketua Penguji Skripsi saya, Alm. Bapak Ambar Tadang, telah sangat berjasa karena langsung membina saya sebagai asisten dan langsung pula melibatkan saya dalam kegiatan penelitian. Nama beliau saya patrikan pada nama salah seorang anak saya. Saya anggap beliaulah yang pertama menempah saya untuk menajamkan kemampuan analisis akademik saya, dan terus mendorong saya untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Betapa mendasar investasi akademik beliau pada diri saya.

Hadirin sekalian,

Saya termasuk mahasiswa yang beruntung, karena dalam tahap penyelesaian studi saya bisa mendapatkan bantuan Beasiswa dari Yayasan Supersemar. Kemudian kembali beruntung karena dalam skema bantuan Asian Development Bank untuk pembangunan Kampus Tamalanrea, ada komponen Beasiswa bagi Dosen didalamnya dan saya menjadi salah seorang penerimanya. Keberadaan dan campur tangan Prof. A.Amiruddin dan Prof. Basri Hasanuddin menjadi sangat menentukan bagi saya untuk mendapatkan Beasiswa dan melanjutkan pendidikan di Filipina, tahun 1981. Akhir tahun 1982, saya telah kembali ke kampus, dan beberapa bulan setelahnya, pada awal tahun 1983, saya diangkat menjadi Pembantu Dekan III mendampingi Almh. Prof. Kustiah Kristanto selaku Dekan.

Almh. Prof. Kustiah bukan sekedar Pimpinan bagi saya, sepanjang enam tahun, 1983-1989, saya tidak hanya ditempah dalam hal kepemimpinan, tetapi sejatinya benar-benar mengasah kemampuan akademik saya, memperluas pergaulan saya, disamping mengayomi saya sekeluarga. Almh. Prof. Kustiah yang menanamkan pada diri saya betapa martabat keilmuan dan demikian pula kebanggaan pada kelembagaan Fakultas dan Universitas harus dijaga dan dipelihara. Alm. Prof. Kustiah telah menjadi Ibu saya yang kedua.

Nama-nama yang saya sebutkan diataslah yang menjadi panutan bagi saya untuk berkiprah ke skala Universitas Hasanuddin, ke dunia pemerintahan, daerah sampai pusat, ke dunia profesi, serta ke dunia politik. Awal tahun 1980an, saya mulai berkiprah di dunia profesi. Tahun 1988, saya mulai menyentuh kehidupan dunia politik. Lalu tahun 1990, saya terlibat langsung di dunia pemerintahan. Tetapi saya tidak bisa melupakan pesan Almh. Prof. Kustiah, bahwa dimanapun kita berkiprah, predikat kelembagaan Fakultas dan Universitas akan senantiasa melekat. Saya meyakini bahwa diri saya sendiri sebenarnya adalah hanya sebahagian, dan sebahagian yang lain adalah karena ada nama Fakultas dan Universitas yang saya sandang.

Dengan nama dan badge Fakultas, sejak Mahasiswa sampai menjadi Dosen, secara pribadi saya menganggap, ‘saya telah menjadi seseorang’. Tanpa nama dan badge Fakultas, saya bukan apa-apa. Betapa sangat besar arti dan makna ‘Ibu Agung’, Almamater ini, bagi kehidupan saya. Betapa Almamater ini telah secara luas memberi saya kesempatan dan telah membesarkan saya. Saya telah menemukan makna kehidupan dengan sejumlah privilege yang tak ternilai. Sangat jauh lebih besar dari pada apa yang mampu saya kontribusikan pada Fakultas tercinta ini.

Betapa tidak, sejak di dunia mahasiswa, saya telah dipertemukan dengan insan-insan kampus dalam wujud manusia-manusia unggul yang cukup banyak jumlahnya. Mereka semua tidak sekedar menjadi teman sejawat, bahkan berkembang dalam makna persaudaran yang hakiki. Di kampus ini, saya telah dipertemukan dengan sahabat karib, dalam rangkaian academic exercise yang panjang, selama beberapa dekade. Ada nama-nama seperti Tadjuddin Noer Said, Taslim Arifin, Tadjuddin Parenta, Moh. Roem, A. Mattalatta, Prof. Husni Tanra, Prof. Idrus A.Paturusi, untuk menyebut beberapa diantaranya. Dan semua ini, saya akan menjadi naif bila tidak kembali menyebut nama Prof. A. Amiruddin yang telah mempertemukan kami semua. Secara pribadi, saya pandang beliau sebagai pembina, pendidik dan orang tua saya sendiri. Beliau lah yang mampu membentuk nilai-nilai ke-Unhas-an diantara kami semua. Beliau pulalah yang telah memperluas wawasan dan pengalaman saya di bidang pemerintahan, sampai menyentuh kehidupan politik. Prof. Amiruddin menjadi segala-galanya bagi karir dan pengabdian saya.

Setelah menjadi dosen, pada skala Universitas, saya dipertemukan dengan manusia-manusia unggul yang arif dan bijak. Kalau ada penilaian, ada setitik nilai kearifan dan kebijakan dalam diri saya, maka nama-nama diantaranya yang ikut membentuk dan karena itu patut saya sebutkan: Alm. H.A.Muis Hamid, Prof. Radi A.Gany, Prof. T.R.Andilolo, Prof. A.Mappadjantji Amien, yang telah sanagat berjasa saya. Mereka tidak hanya menjadi sahabat tetapi sekali gus juga sebagai saudara-saudara saya.

Secara khusus, sangat patut saya menyebut nama Prof. Radi yang telah sempat memberi saya ruang dan kesempatan untuk mengembangkan academic exercise di bidang pembangunan di daerah ini. Saya berhutang budi pada beliau karena memungkinkan saya menjaga relevansi keilmuan saya dengan dunia nyata pembangunan, melalui penugasan beliau mengangkat saya sebagai Kepala PSKMP dengan keluasan berimprovisasi.

Hadirin yang berbahagia.

Di saat purna bakti ini, saya benar-benar telah siap memasuki masa-kerja kedua saya. Akumulasi pengetahuan dan pengalaman pribadi saya, telah membentuk diri saya sangat siap menjadi konsultan publik, yang sebenarnya telah saya mulai sekitar satu dekade terakhir. Dalam kesempatan ini, saya patut menyatakan terima kasih kepada Pimpinan dan jajaran staf Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), yang telah berbaik hati mempromosikan saya pada sejumlah lembaga mitra pembangunan.

Dengan semua itu, dengan semua yang saya ungkapkan diatas, kiranya tidak ada salahnya bila saya mengajak kita semua yang hadir untuk senantiasa melakukan perenungan. Betapa hidup dan kehidupan ini patut disyukuri, terutama bagi rekan-rekan sejawat saya, para dosen. Bahwa kita semua, sadar ataupun tidak sadar, adalah termasuk kelompok masyarakat yang beruntung. Sebagai kelompok masyarakat yang telah mendapatkan ruang dan kesempatan yang disertai dukungan fasilitas yang setidaknya memadai bagi kehidupan kita masing-masing. Tidak banyak kelompok ataupun lapisan masyarakat yang seberuntung kita semua.

Oleh karena itu, seharusnya kita semua senantiasa merasa tertantang untuk mengasah kepekaan dan kepedulian kita terhadap perkembangan dan lingkungan kehidupan masyarakat disekitar kita. Kita patut menyadari bahwa ditengah kemajuan dan perkembangan kehidupan ekonomi di tanah air, masih terdapat sejumlah lapisan masyarakat dengan jumlah yang tidak kecil, yang masih saja tetap kurang beruntung terutama dalam ukuran-ukuran kesejahteraan.

Hadirin sekalian,

Ada sederet pertanyaan yang patut disimak secara cermat. Dimana tahapan perkembangan perekonomian Indonesia saat ini, memperlihatkan realitas kehidupan masyarakatnya? Bagaimana kita mempersepsikan perkembangan yang ada tersebut? Seperti apa kecenderungan perkembangannya ke depan? Adakah kesejahteraan rakyat di tanah air memperlihatkan tanda-tanda yang bisa membesarkan hati? Kesejahteraan rakyat memang tidak sederhana dan tidak mudah diukur, tetapi bila kita mencermati realitas perkembangan gejolak sosial, social unrest, mulai dari ujung Barat sampai ke ujung Timur Indonesia, tidakkah kita perlu memberikan evaluasi atas perspektif perkembangan perekonomian Indonesia?

Memang bisa meletihkan bila kita bermaksud membicarakan persoalan masa depan. Mulai dari petani di pelosok desa, sampai kepada mahasiswa di perkotaan, sudah sulit untuk diajak berdiskusi tentang masa depan. Pikiran mereka lebih banyak dihantui oleh permasalahan hari ini, dan mungkin paling jauh, esok hari. Berhadapan dengan realitas lain, dimana penentu kebijakan ekonomi sangat getol membahas proyeksi wujud perekonomian Indonesia tahun 2025, melalui MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia), yang diharapkan mengantarkan bangsa ini akan termasuk dan menjadi negara berskala ekonomi besar kelas dunia.

Tidakkah kita semua khawatir akan muncul realitas dalam wujud akumulasi biaya sosial yang kembali harus ditanggung oleh bangsa ini? Sulit untuk menyangkal bahwa sejumlah biaya sosial sudah bisa mewujud, tidak lagi dalam hitungan hari, tetapi cenderung sudah bisa dalam hitungan jam. Kiranya tidak terlalu sulit mencermatinya. Segera setelah keluar dari ruangan ini sebentar, setelah melewati gerbang kampus ini, setelah mendekati kompleks perumahan kita, naif untuk menyangkal pencerminan gejolak sosial ataupun biaya sosial karena sudah terlihat nyata, dan mungkin kita termasuk harus ikut menanggungnya. Bahkan sampai dalam kamar tidur kita masing-masing, semua itu bisa mengusik pikiran, bila mengikuti pemberitaan nyaris setiap saat

Suka atau tidak suka, kehidupan bangsa ini telah terbelah, yang hampir pasti sudah bukan dalam batasan ekonomi saja. Keterbelahan dalam kehidupan disekitar kita sudah merambat dalam batasan sosial, politik bahkan budaya. Sepatutnya kita perlu miris membayangkan dampak kumulatifnya. Kita semua perlu tergugah, sebelum dampaknya berakumulasi dan menciptakan ‘tsunami’ social unrest di Nusantara ini. Perlu ada kejujuran untuk mencermati perspektif perkembangan perekonomian Indonesia, dan mencoba menatap kesejahteraan rakyat, yang masih ada di kejauhan. Seperti itu judul yang saya pilih hari ini, ‘PERSPEKTIF PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA : Menatap Kesejahteraan Rakyat di Kejauhan’

Hadirin sekalian,

Beralasankah kita mempersoalkan, setidaknya mencoba menatap kesejahteraan rakyat dewasa ini? Kiranya, menjadi hal yang sangat patut untuk menyediakan ruang dan waktu untuk mempersoalkannya. Betapa tidak, dalam kurun waktu lebih empat dekade terakhir, perkembangan perekonomian Indonesia dalam ukuran besaran skalanya, sungguh amat menggembirakan dan bisa membanggakan kita semua sebagai bangsa. Tetapi bila social unrest yang demikian semakin mudah meletup, dan cenderung terjadi setiap saat, terkait langsung dengan tingkat kesejahteraan rakyat, maka apa makna skala perekonomian yang semakin besar ini.

Dalam sejarah pemikiran ekonomi, kita telah diajarkan dan diingatkan dengan sebuah kalimat simpul, ‘The aim is to maximize happiness, not income’ (The Economics Book, 2012). Skala perekonomian hanya sebuah pengukuran, yang makna utamanya adalah bench-marking sebuah negara terhadap negara lainnya. Tentu saja hal ini penting terutama untuk membangun wawasan ekonomi politik untuk kepentingan domestik setiap negara. Oleh karena bagi setiap dan masing-masing negara, masyarakat akan mampu mengukur sendiri seberapa dekat gambaran skala perekonomian tersebut bagi realitas kehidupan sehari-harinya.

Memang social unrest misalnya, bisa bersumber dari kecemburuan sosial, dan hal itu sudah diingatkan dalam bahasan literature ilmu ekonomi. Diungkapkan bahwa, ketidak-bahagiaan atau ketidak-sejahteraan bukan ditentukan oleh seberapa besar yang seseorang mampu dapatkan, melainkan apakah tetangganya mendapatkan lebih besar atau lebih kurang. Artinya, seberapa besar bahagian dari pada skala perekonomian yang dinikmati oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu dibandingkan dengan yang lainnya. Ukuran dan gambaran nyata ketimpangan, ketertinggalan dan kemiskinan sudah menjadi sajian rutin bagi pikiran dan pemahaman kita.

Mencermati perekonomian Indonesia, bagai memperhatikan hutan di kejauhan, betapa nuansa kerimbunan tampak menyegarkan. Dan, perlu dipahami bahwa seperti inilah dunia dan lembaga internasional menatap perekonomian Indonesia. Lalu mendesakkan untuk mengedepankan kepentingan perekonomian global dalam kerangka perekonomian Indonesia. Gambaran akan berbeda, apabila bangsa ini sendiri menatap keseharian dalam kehidupannya baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Oleh karena bagaikan perambah hutan, bangsa ini berada ditengah-tengah hutan tersebut yang sebenarnya sudah tandus, akrab dengan kegersangan yang meresahkan, nyaris dalam seluruh dimensi kehidupannya.

Realitas kehidupan politik ekonomi di tanah air memang patut dikritisi. Bahkan tidak hanya dalam keresahan akan kenaikan tingkat harga-harga seperti yang mencekam banyak lapisan masyarakat di hari-hari terakhir ini. Sulit menyangkal bahwa praktek politik ekonomi dalam belasan tahun terakhir dapat semakin menjauhkan bangsa ini dari apa yang namanya kesejahteraan rakyat. Apapun ukuran yang ingin digunakan. Seperti itukah secara esensial kebijakan ekonomi nasional, yang diderivasi dari wawasan ekonomi politik para penentu kebijakan, memang dimaksudkan dan dirumuskan?

Satu hal yang pasti, dalam konteks teori pertumbuhan ekonomi, apa yang kita saksikan sampai saat ini adalah sejarah panjang untuk mencapai ‘warranted growth’. Sangat mustahil untuk dikategorikan sebagai ‘natural growth’, lalu apa yang menjadi realitas kehidupan ekonomi nasional bisa sekedar disebut sebagai dampak ataupun akibat samping belaka. Secara akademik, akan valid untuk menyimpulkannya sebagai sebuah realitas ‘by-designed’. Terlepas bahwa dalam konstitusi NKRI, sejak awal kemerdekaan sampai detik, tidak satupun pemerintahan kita yang menomor-duakan kesejahteraan rakyat, dalam ungkapan dan pernyataannya. Tetapi selalu saja pertumbuhan ekonomi menjadi jauh lebih penting dari kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan, apakah kesejahteraan rakyat sejatinya sudah menjadi kepentingan nasional dalam pembangunan di tanah air? Kepentingan nasional, dalam makna, menjadi eksplisit mendapatkan tempat dalam wawasan ekonomi politik, dan selanjutnya secara konsisten diwujudkan dalam praktek politik ekonomi. Terlalu kuat kesan selama ini, bahwa wawasan ekonomi politik adalah suatu hal, dan praktek politik ekonomi menjadi hal yang lain lagi. Apakah kesejahteraan rakyat itu merupakan sesuatu yang bersifat utopis, sehingga selalu saja dinomor-duakan. Atau, harus dipandang sebagai suatu yang bersifat implisit saja, dalam arti dengan perkembangan perekonomian Indonesia jangka panjang, kesejahteraan rakyat akan mewujud cepat ataupun lambat. Apa dan dimana tanggung jawab Ilmu ekonomi, dalam menjaga relevansinya dengan dunia nyata kejahteraan rakyat disekitarnya? Mungkin Fakultas ini perlu memberikan ruang untuk mengembangkan academic exercise yang bermuara pada semacam KKN (Kajian Kerja Nyata) untuk tema kesejahteraan rakyat.

Bila sesaat kita melakukan kilas balik, jauh sebelum pembangunan ekonomi getol dilaksanakan di tanah air, ada suatu substansi yang hilang dalam kurikulum di Fakultas ini. Mungkin angkatan saya sebagai mahasiswa yang terakhir mendapatkan mata ajaran Sosiologi, yang esensinya membahas tentang  ‘The Fondation of Social Structure’. Dimana kami semua, para mahasiswa, senantiasa diingatkan bahwa Ilmu Ekonomi adalah bahagian dari pada Ilmu-Ilmu Sosial. Pembangunan ekonomi, dengan esensi pokoknya pertumbuhan ekonomi, telah disimplifikasi melalui pendekatan matematik-statistik, bahkan berkembang dan dipahami secara sangat reduksionis dan deterministik. Dan untuk itu, Ilmu Ekonomi kemudian dipuja sebagai Ratu-nya ilmu-Ilmu Sosial.

Hadirin sekalian,

Kehadiran New Science, yang sangat menyadari kompleksitas, terutama dalam tatanan kehidupan masyarakat, sebenarnya mengajak kita semua untuk menghindari paham reduksionis. Butterfly Effects, bahwa kepakan kupu-kupu di Lautan pasifik bisa menciptakan tsunami di Asia Timur, dijadikan illustrasi nyata untuk menggambarkan betapa simplifikasi dalam pengukuran  deterministik bisa menjadi ancaman bagi kehidupan. Kehidupan sosial adalah sebuah kompleksitas yang tidak mungkin bisa disimplifikasi, didekati secara reduksionis, lalu kemudian disimpulkan secara deterministik. Semua wawasan yang termuat dalam kurikulum di Fakultas ini, sepatutnya mampu memberi pemahaman yang kuat bagi para mahasiswa tentang New Science.

Dalam kaitan dengan pembangunan, terutama dalam makna pembangunan sosial, sebagai pertanggungan jawab moral saya, saya patut mengungkapkan bahwa di Universitas Hasanuddin sekitar satu dekade yang lalu, telah mampu dihasilkan sebuah Modul Induk pembelajaran yang disebut ‘Participatory Local Social Development’ (PLSD). Saya sangat berkeyakinan bahwa sesuai dengan semangat zaman dewasa ini, PLSD ini pada dasarnya memiliki kesetaraan dengan The Fondation of Social Structure, apabila yang terakhir ini dipandang substansinya telah out of date. Di Fakultas ini, ada sejumlah dosen yang terlibat mempersiapkan, menyusun, dan mengadvokasikan (diluar kampus) PLSD ini. Bila dicermati, ada bahasan substansi PLSD yang sangat dekat dengan Ilmu ekonomi, yaitu bahasan tentang Sembilan Elemen Rumah Tangga yang terkait secara kompleks. Dan disamping itu, ada bahasan tentang pentingnya tatanan kelembagaan ekonomi masyarakat (Dibaca : Institutional Economics). Menggunakan pendekatan Resource-Organizatin-Norm (RON), menuju terbangunnya Self-Organizing Capacity (SOC) di tengah Masyarakat.

Hadirin sekalian,

Implementasi pembangunan (ekonomi), memang selalu saja muaranya  dikatakan akan menyentuh kepentingan masyarakat luas. Di tanah air tercinta ini, bila kita melakukan kilas balik, selalu saja menjadi realitas bahwa pengerdilan kepentingan masyarakat dalam wujud kehidupan mereka yang terhimpit secara ekonomi akan berdampak pada akhirnya menghadirkan akumulasi ketidak-puasan masyarakat. Ujung akhirnya adalah kejatuhan pemerintahan yang berkuasa. Semoga kita tidak lagi melihat kenyataan seperti itu. Oleh karena itu kepentingan masyarakat, kesejahteraan rakyat harus nyata dirawat, yang dari waktu ke waktu karena selalu saja dalam keadaan sakit.

Rezim Orde Lama tumbang karena kehidupan yang menghimpit masyarakat luas di tanah air. Rezim Orde Baru kemudian tampil ingin meperbaiki kondisi kehidupan ekonomi nasional, terjadi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan skala perekonomian berkembang amat pesat. Namun karena dampak pertumbuhan ekonomi dan perbesaran skalanya yang tidak menetes, lalu harus menghadapi kenyataan yang sama, tumbang. Rangkaian sejarah panjang ini dipandang butuh reformasi, seperti itulah tema kekuasaan yang ada sekarang. Apa yang berobah dalam kehidupan masyarakat atau kesejahteraan rakyat?

Pertumbuhan ekonomi secara rata-rata tetap menggembirakan dalam belasan tahun terakhir, skala perekonomian tetap berkembang pesat. Tetapi ketidak-menetesan juga tetap saja menampakkan realitas yang nyata. Oleh karena itu seperti kata pameo, banyak perobahan, tidak ada perkembangan. Yang paling signifikan berobah hanyalah bergesernya peran pelaku pembangunan. Dalam realitas inilah bisa disimak bagaimana wawasan ekonomi politik dan praktek politik ekonomi yang mewarnai kehidupan bangsa ini, termasuk pengaruhnya terhadap gambaran kesejahteraan yang mewujud.

Di bidang ekonomi, telah semakin nyata tampilnya kelompok pendapatan kelas menengah keatas yang mampu meneguhkan kepentingannya atas nama perekonomian nasional. Di bidang politik, semakin meluas penampilan para politisi dengan birahi kekuasaannya, juga untuk meneguhkan kepentingannya atas nama demokrasi. Di bidang sosial, telah semakin menonjol prilaku kelas sosial mengatas-namakan kepentingan publik. Disadari atau tidak disadari, bangsa ini semacam memasuki era transformasi budaya yang cenderung berkonvergensi pada kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan pengatas-namaan kepentingan publik melalui peran kelompok yang cukup terbatas jumlahnya. Akankah hal ini mampu menggugah kesadaran, yang sejatinya perlu hadir di kampus-kampus. Walaupun sangat memiriskan bahwa dalam banyak hal, bukan lagi kampus yang mempengaruhi perkembangan kehidupan disekitarnya, cenderung sebaliknya. Justru kampus-kampus yang telah merefleksikan kehidupan yang berkembang disekitarnya. Mudah-mudahan saya saja yang naif berpikiran dan berpandangan seperti itu.

Hadirin sekalian,

Menghadirkan kepedulian untuk membedah wawasan ekonomi politik untuk memuarakannya pada kesejahteraan rakyat nampaknya menjadi keniscayaan. Kesejahteraan rakyat yang lebih banyak ditempatkan secara implisit dalam wawasan ekonomi politik, dan seterusnya seperti itu dalam rumusan kebijakan dan dalam praktek politik ekonomi, membutuhkan pemihakan nyata sektor pengetahuan. Kampus-kampus, termasuk Fakultas kita ini, sepatutnya mampu tampil sebagai pilar dalam pembangunan sektor pengetahuan. Dimana atau bagaimana memulainya?
Kita semua sepatutnya memahami bahwa apa yang terjadi, apa yang berlangsung dalam the course of development di tanah air dewasa ini, memang cenderung merupakan sebuah mainstream yang sulit dibendung apalagi untuk dilawan. Tetapi saya anggap, bukan suatu hal yang mustahil untuk membangun barisan dalam berkontribusi bagi kemashlahatan masyarakat. Hanya saja pasti tidak ada jalan singkat untuk itu. Pelaku sektor pengetahuan perlu secara esensial kembali ke habitatnya, semakin akrab dengan kajian dan rekomendasi pemikiran operasionalnya.

Adakah kita sudah memiliki dan secara bersama telah membangun pemahaman tentang mainstream in the course of development di tanah air dewasa ini? Pengalaman kecil saya memperlihatkan bahwa mencoba mendapatkan pemahaman tentang apa yang berkembang dalam wawasan nasional berhadapan dengan realitas pembangunan dan tetap mengacu pada perspektif kepentingan dan perkembangan global, justru signifikan membangun kapasitas dan kemampuan akademik saya. Bahkan mungkin kalau saya bisa lebih jujur, saya patut mengungkapkan bahwa dengan berpendapat melalui kajian dan analisis, ternyata saya juga bisa mendapatkan pendapatan. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak selalu benar bahwa Dosen itu banyak pendapat tapi kurang pendapatannya. Walaupun, pasti tidak bisa mengakumulasi kekayaan.

Rekan-rekan sejawat yang hormati,

Seperti yang saya kemukakan di depan, Ilmu ekonomi ini terlalu luas dan dalam bila ingin direnangi dan diselami sendiri. Oleh karena itu, nyaris tiada pilihan bagi setiap insan kampus untuk tidak berkomitmen pada apa yang disebut ‘Peer Group’, yang mungkin dengan jumlah anggota cukup terbatas namun yang penting efektif. Peer Group ini harus mampu dibentuk dan tercipta sebagai sebuah ‘rhizome’, dalam mengasah kepekaan dan kepedulian akademik. Syarat perlunya hanyalah kehadiran seorang ‘champion’ didalamnya. Paragraf ini, bila disimak secara baik, maka sebenarnya saya hanya ingin secara gamblang mengungkapkan betapa wawasan teoritik itu selalu penting untuk mendekati dunia nyata.

Fakultas ini seyogyanya mampu mendorong dan memfasilitasi agar Peer Group mampu berperan dan berfungsi, terutama selaku pelaku pembangunan sektor pengetahuan. Bukan sekedar menunggu kehadiran group atau kelompok 0n-off, berperan dan berfungsi dalam rangka pemilihan Rektor, Dekan ataupun Ketua Jurusan, mengadvokasi kewenangan dan kekuasaan setelah seseorang terpilih, lalu cenderung menjadikan kelembagaan-kelembagaan dalam kampus bagaikan ‘tempurung’. Peer Group dimana saya berhimpun dalam lingkup Fakultas ini, sudah berusia sekitar seperempat abad, dan telah mampu mengambil peran baik di dalam maupun di luar kampus, dengan segala suka dan dukanya, menjadi pelaku sektor pengetahuan.

Melakukan peran selaku champion di Peer Group, kalau saya bisa berbagi pengalaman, saya hanya meng-insist beberapa norma. Pertama, kegiatan apapun yang dikreasikan, harus mampu memperkaya bahan ajar dan analisis akademik. Kedua, menyadarkan bahwa menjadi Dosen PNS nyaris tidak jalan menjadi kaya, namun alangkah naifnya bila harus melarat. Ketiga, relasi dan konektivitas jauh lebih langgeng dan bernilai dari pada kedudukan dan jabatan. Keempat, martabat selaku insan akademik adalah segala-galanya. Kelima, mengajak untuk berkinerja sekedar sebagai serupiah dalam bilangan seribu rupiah, ajaran falsafah hidup Imam Al-Ghazali, yang mungkin tidak berarti bilangannya tapi akan menjadi penentu bagi kehadiran terbilangnya seribu rupiah itu. Dengan ketiadaan serupiah, memastikan seribu rupiah tidak akan pernah ada.

Ternyata Peer Group bisa sangat sejalan dengan dunia nyata dan semangat zaman yang diidealkan dalam New Science. Oleh karena Peer Group harus memiliki kemandirian, dalam makna apapun termasuk martabat akademik. Kemandirian, seseorang atau kelompok, bukan kediri-sendirian ataupun dalam makna berdiri diatas kaki sendiri. Kemandirian, adalah independensi dalam ciri integritasnya, namun pada saat yang sama juga mampu menyadari keberadaannya sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar. Apakah itu Fakultas ataupun Jurusan yang melingkupinya, bahkan sampai ke tatanan yang bersifat global sekalipun. Oleh karena setiap seseorang adalah bagian menjadi dari masyarakatnya dan lingkungannya. Dengan kemandirian Peer Group yang saya ketengahkan ini, seperti itulah esensi apa yang dikenal dengan istilah Kemandirian Lokal yang diperkenalkan dari kampus ini.

Hadirin sekalian,

Diatas sebelumnya saya telah menyebutkan keberadaan kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke atas dengan kepentingannya, kelompok politisi untuk dan atas nama demokrasi, kelompok sosial yang getol memperatas-namakan kepentingan publik, disamping dan termasuk lapisan masyarakat luas itu sendiri. Perlu menjadi pencermatan, apakah mereka (kelompok dan lapisan) ini sudah berada dalam batasan kemandirian, atau masih sebatas mengedepankan kediri-sendiriannya masing-masing. Disinilah kita sepatutnya menyimak tantangan semangat zaman saat ini dan ke depan. Ditengah kegetolan mengedepankan kediri-sendirian masing-masing, memang dibutuhkan champion yang mungkin hanya bernilai serupiah. Dibutuhkan hadirnya penyebar virus New Science, yang bagi saya pribadi sangat berharap lahir dan hadir di kampus-kampus, termasuk di Fakultas yang sangat saya cintai ini.

Menjadi pelaku pembangunan sektor pengetahuan, saya yakini bisa menjadi entry-point yang strategis dan signifikan. Membedah wawasan mainstream pertumbuhan ekonomi bisa menjadi salah satu tema untuk dipilih. Konsep dan strategi pertumbuhan ekonomi nasional di Indonesia harus bisa diurai. Setiap kampus dituntut untuk mampu menawarkan second-opinion, tidak hanya sebatas mengkritiknya. Dengan judul buku Dani Rodrik saja, ‘One Economics Many Recipes’, 2007, sepatutnya sudah bisa memberi inspirasi. Selalu tersedia ruang untuk berpendapatkan dan menawarkan analisis. Setiap kampus seyogyanya tidak membiarkan setiap wawasan ekonomi politik di Indonesia melenggang sendiri, tanpa second-opinion. MP3EI misalnya, banyak dikritik, tapi akan lebih arif bila diberi second-opinion, tentang bagaimana Indonesia berkembang ditengah percaturan global. Di Fakultas ini, MP3EI harus mampu diurai, baik teoritik maupun emperikalnya. Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi hasil seperti apa yang akan mampu dicapai di tanah air?

Saya menjadi yakin bahwa konsep pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting, kalau bukan menjadi segala-galanya, di Indonesia. Oleh karena itu, materi dan substansi pertumbuhan ekonomi sepatutnya selalu menjadi obyek buruan untuk dijadikan bahan kajian. Terlepas bahwa secara pribadi, saya sangat tidak menyenangi apalagi mendukung wawasan pertumbuhan ekonomi. Saya bahkan harus tampil sebagai pengeritik wawasan maupun konsep pertumbuhan ekonomi. Namun untuk itu, tidak ada pilihan lain, sebagai akademisi, kecuali berusaha menjelajahi pemikiran-pemikiran dalam pertumbuhan ekonomi, terutama yang akan berkaitan dengan praktek politik ekonomi di tanah air. Saya harus berusaha menguasai wawasan dan substansi konsepnya, karena hanya dengan begitu saya tidak hanya akan sebatas melakukan kritik. Artinya, saya harus mendapatkan kemanfaatan akademik dengan mengaji tentang pertumbuhan ekonomi.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Penegasan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia, bisa langsung disimak dari Commission on Growth Report, 2008. Dalam laporan Komisi bentukan Bank Dunia ini, Indonesia telah ditampilkan sebagai salah satu success story pertumbuhan ekonomi. Indonesia dipersepsikan memiliki peran strategis untuk mendorong pertumbuhan global ke depan. Seperti yang pernah saya ulas, Komisi yang beranggotakan 21 eminent people di dunia, seorang diantaranya adalah Prof. Boediono, sebenarnya bisa disimak kesimpulannya bahwa kepentingan pertumbuhan ekonomi, termasuk di Indonesia, adalah menjadi kepentingan perekonomian global. Bagi setiap negara, pertumbuhan ekonomi yang sustainable dalam jangka yang panjang dipandang sebagai sebuah keniscayaan untuk mampu memberikan kemanfaatan.

Oleh karena itu, dari semua cerita sukses pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan, kemudian dikonsepsikan bahwa pertumbuhan ekonomi ke depannya, membutuhkan sejumlah neccessary and sufficient conditions terutama di kalangan negara-negara yang pernah mencatat keberhasilan. Namun pada inti pesannya, perlu ditata semacam jalan ‘toll’ pertumbuhan ekonomi baik secara global maupun individu negara, dan seperti itulah bacaan saya atas MP3EI, sebuah tatanan jalan ‘toll’.

Secara sederhana diidentifikasi ada lima faktor yang dipandang menjadi persyaratan untuk mencapai pertumbuhan yang sustainable bagi setiap negara agar selanjutnya mampu berkontribusi secara signifikan pada perekonomian global. Pertama, kemampuan untuk mengeksploitasi dan mengambil kemanfaatan dari perkembangan ekonomi dunia. Kedua, kemampuan mempertahankan stabilitas makro perekonomian negara masing-masing. Ketiga, kemampuan untuk mendorong tingkat tabungan domestiknya. Keempat, perekonomian pasar domestik yang menuntun alokasi sumberdaya ekonomi secara efifien. Kelima, hadirnya pemerintahan yang komit terhadap pertumbuhan, kredibel dan kapabel.

Bila disimak, dalam kaitan perekonomian Indonesia, setiap faktor diatas memberi setidaknya dua implikasi pokok bagi wawasan ekonomi politiknya masing-masing. Pertama, menghadirkan rumusan kebijakan dan strategi pencapaian yang bisa lebih terukur hasilnya, dan kedua, memiliki semacam risk management atas setiap potensi tidak optimalnya praktek politik ekonomi untuk mencapai hasilnya. Tetapi juga dengan satu catatan kaki bagi Indonesia, bahwa tidak semua anak bangsa ini bisa terkait langsung dengan kemanfaatan capaian hasilnya. Bahkan sebaliknya, sangat mungkin hanya akan ikut menanggung biaya sosisalnya. Tetapi kita tetap bisa membayangkan betapa skema academic exercise terbentang luas dan menantang para pelaku sektor pengetahuan.

Hal diatas adalah suatu hal, dan oleh karena itu, hal lainnya lagi adalah bagaimana mencermati bahwa tetap ada ruang untuk membunyikan kesejahteraan rakyat pada setiap faktor diatas. Untuk hal terakhir ini, apabila sejak dari rumusan dan sasaran kebijakan, substansi kesejahteraan rakyat tidak mampu dibunyikan, maka akan sangat jelas kesejahteraan rakyat tersebut akan terletak atau diletakkan di kejauhan. Apalagi karena nyaris semua faktor diatas memang memiliki jarak yang jauh dengan substansi kesejahteraan rakyat banyak.

Terlalu ideal untuk berharap dari kelompok berpendapatan menengah ke atas, cenderung gegabah untuk berharap dari para politisi dewasa ini, dan mungkin naif untuk berharap pada kelompok kepentingan sosial, untuk menyuarakan kepentingan kesejahteraan rakyat dalam kebijakan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perspektif ini menjadi sangat jelas bila kita semua mencermati konsep MP3EI, yang menjadi andalan pemerintahan kita saat ini. Dimana kesejahteraan rakyat, setidaknya dalam pandangan saya, lebih banyak ditempatkan bersifat implisit saja

Hadirin sekalian,

Apakah konsep MP3EI sepenuhnya menafikan kepentingan kesejahteraan rakyat? Pasti saja tidak. Hanya saja kesejahteraan rakyat lebih diimplisitkan pada perluasan kesempatan kerja yang akan terbuka, baik dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur maupun pada saat roda perekonomian kelompok menengah ke atas sudah berputar. Semua sektor ekonomi yang dapat melibatkan secara langsung lebih banyak masyarakat, harus menelusuri jalan panjang menuju pertumbuhannya. Perhatikan misalnya, bagaimana kerangka pengembangan komoditas rumput laut di Koridor Sulawesi, yang secara nyata melibat banyak anak bangsa ini. Kesenjangan menjadi nyaris pasti dalam kerangka MP3EI ini. Tetapi mengapa konsep seperti ini hadir atau dihadirkan? Jawaban sederhananya, untuk menjaga momentum perkembangan perekonomian Indonesia dalam tatanan perekonomian global.

Tahun 2014, diproyeksikan bahwa pendapatan per kapita di tanah air sudah akan mencapai angka US$ 4.800 dan meningkat mencapai diatas US$ 13.000 pada tahun 2025. Bagaimana kita memaknai pendapatan rata-rata US$ 4.800 per kapita tahun depan? Pikiran dan perasaan kita semua diruangan ini mungkin akan kecut memaknai angka pendapatan per kapita tersebut. Yang ingin saya katakan bahwa sudah banyak diantara kelompok yang berpendapatan menengah ke atas, mungkin termasuk sebahagian kita dalam ruangan ini, yang telah memiliki pendapatan diatas angka itu saat ini. Saya kira ini pulalah yang menjadi nalar dan pembenaran mengapa konsep MP3EI dihadirkan, bahwa dalam kurang lebih satu dekade ke depan, terdapat potensi untuk menumbuhkan pendapatan per kapita Indonesia sekitar tiga kali lipat. Dan, martabat bangsa akan terangkat dalam kancah perkembangan perekonomian global.

Sebelum kehadiran MP3EI ini, pada tahun 2008, Kantor Bank Dunia di Jakarta telah mempublikasikan Country Partnership Strategynya, untuk 2009-2012. Saya mencatat, CPS inilah yang mungkin pertama kali mengangkat martabat dan predikat perekonomian Indonesia, dengan menyebutnya sebagai ‘ A Confident Middle Income Country ‘. Mungkin predikat ini telah menginspirasi para penentu kebijakan dan melihat ada potensi serta momentum bagi Indonesia untuk berkembang menjadi negara pendapat tinggi, seperti yang ditargetkan dalam MP3EI.

Pengendali kepentingan perekonomian global, terutama melalui Bank Dunia, dapat dikatakan memang sangat serius dan terstruktur memperhatikan potensi dan kecenderungan perkembangan perekonomian makro sejumlah negara. Pada tahun 2011, Bank Dunia dengan bekerjasama dengan Fakultas telah menyosialisasikan hasil kajiannya yang bertema Global Development Horizons, dalam buku bertopik ‘Multipolarity : The New Global Economy’, di kampus ini. Saya beruntung mendapatkan penugasan Fakultas untuk tampil sebagai pembahas. Dan saya menjadi semakin tertarik, setelah mengetahui bahwa terdapat persamaan yang amat pas, antara konsep berpikir ‘Multipolarity’ ini dengan konsep MP3EI. Apalagi dipublikasi nyaris bertepatan dan dengan kurun waktu bahasan substansi yang tepat sama, yaitu 2011-2025. Saya yakin ini bukan suatu yang bersifat kebetulan, tapi saya tidak ingin menginterpretasikanya lebih jauh di Podium ini.

Hadirin yang berbahagia,

Indonesia dipandang akan menjadi salah satu kutub pertumbuhan global, dalam kecenderungan transformasi struktur perekonomian global ke depan. Multipolarity yang akan mewujud ini, dipandang akan semakin memperkuat perekonomian global, dan Indonesia melalui pertumbuhan ekonominya akan menjadi kutub yang signifikan. Membaca hal itu, pikiran saya menerawang pada bagaimana dalam waktu yang sama perkuatan struktur perekonomian domestik Indonesia juga bisa terwujud. Tidakkah ketimpangan, kesenjangan dan kemiskinan yang menjadi cermin kesejahteraan rakyat, justru akan menjadi biaya untuk menjadi kutub pertumbuhan global tersebut?

Nampaknya arus berpikir diatas, sudah sangat kuat, jalan toll sudah tertata. Pemerintahan kita sudah sangat percaya diri. Bila di depan saya menyebut nama Prof. Boediono sebagai salah seorang eminent people yang terplih dalam Komisi Pertumbuhan, maka saya terdorong untuk menelusuri pemikiran beliau terutama dalam kaitan konsep berpikir tentang pertumbuhan. Saya ingin mencatat kembali dua butir pernyataan beliau. Pertama, ‘pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan penghasilan anggota masyarakat dan membuka lapangan kerja baru’, tahun 2005. Kedua, ‘diperlukan sikap kolektif untuk menjadi pemenang dalam era globalisasi’, tahun 2006.

Dan, dugaan saya, penonjolan angka pendapatan per kapita sebesar US$ 4.800 pada tahun 2014 (sebagai Tahun PEMILU), mungkin terkait dengan pernyataan beliau dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya (?) bahwa diseputar tingkat pendapatan tersebut kematangan demokrasi akan mulai mewujud. Artinya, NKRI, berikut warga bangsanya, akan menjadi negara yang maju secara ekonomi, matang dalam berdemokrasi, sehingga akan semakin bermartabat secara global. Sungguh-sungguh kah ini sebuah kebanggaan sebagai suatu bangsa? Another value judgement needed.

Semoga tidak berlebihan bila dalam kaitan dan konteks serta perspektif perekonomian Indonesia dewasa ini, secara pribadi dan dalam nalar akademik saya, saya cenderung ingin menggunakan istilah ‘Boedionomics’ yang menjadi mainstream di tanah air. Benar-benar sebuah mainstream, karena di tengah terpaan badai permasalahan dan kririkan, perjalanan perekonomian Indonesia pada tatanan jalan ‘toll’nya, tetap saja melaju. Saya perlu mengutip bahwa dalam suatu artikel yang ditulis oleh Prof. Sadly, 2002, yang judulnya cukup menggelitik: ‘Habibienomics, Gusdurnomics, Meganomics, dan Apalaginomics’. Maka seperti ungkapkan saya diatas, ‘Apalaginomics’ bagi saya adalah ‘Boedionomics’.

Hadirin yang berbahagia,

Meskipun dengan sangat verbal, tetapi semoga saya bisa memprovokasi semua yang hadir dalam ruangan ini, bahwa kita sedang menatap kesejahteraan rakyat di tanah air tercinta ini, yang masih ada di kejauhan sana. Perspektif perkembangan perekonomian Indonesia ke depan akan melaju meneguhkan keterukuran deterministiknya dalam tatanan perekonomian global. Apakah semua itu akan baik atau sebaliknya, akan masuk dalam boundary normative economics. Oleh karena itu, sekali lagi value judgement menjadi sesuatu yang niscaya. Pada akhirnya, judgement dikembalikan kepada kita masing-masing, termasuk untuk mengantisipasi semua biaya sosial yang muncul disekitar kita.

Akhirnya, atas segenap kesabaran Hadirin Sekalian untuk mengikuti paparan saya ini, saya menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Perkenankan saya menggunakan kesempatan ini, dalam menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan beberapa saat yang akan datang, memohon maaf lahir dan bathin. Semoga Berkah dan Karunia Allah swt senantiasa dilimpahkan kepada kita semua. Jayalah FEB-UH, Amin.
Wabilalhi Taufiq wal Hidayah.
Wassalaamu Alaaikum Wr.Wb.
Kampus Tamalanrea Unhas, 01 Juli 2013.

ABDUL MADJID SALLATU




Abd.Madjid Sallatu beserta anak-anaknya



DAFTAR BACAAN :
A.M.Sallatu, 1998, Penjabaran Kepentingan Nasional Bidang Ekonomi Guna Menghadapi Tantangan Era Global, TASKAP LEMHANNAS KRA-XXXI
A.M.Sallatu, 2010, Perekonomian Indonesia : Diantara Perspektif Neoliberal dan Kesejahteraan Rakyat, Makalah Pengantar Diskusi.
A.M.Sallatu, 2010, Spektrum Pasar : Perlunya Mempertegas Peran Negara, Ulasan Buku
A.M.Sallatu, 2010, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Ke Depan : Tantangan Sektor Pengetahuan, Artikel
A.M.Sallatu, 2011, Global Development Horizons, Multipolarity : The New Global Economy (Beberapa Catatan Kritis), Ulasan Buku
A.M.Sallatu, 2011, Boedionomics, Artikel
A. Mappadjantji Amien, 2005, Belajar Merajut Realitas : Pendidikan dari Perspektif Sains Baru, Hasanuddin university Press, Makassar
Anatole Kaletsky, 2010, Capitalism 4.0 : The Birth of a New Economy, Bloomsbury Publishing Plc., UK
Dani Rodrik, 2007, One Economics Many Recipes, Princeton University Press, USA & UK
David Colander (Ed), 2000, The Complexity Vision and the Teaching of Economics. Edward Elgar Publishing Limited, UK
Ian Bremer, 2010, The End of the Free Market, Penguin Group, USA
John C.Maxwell, 2007, The Maxwell Daily Reader (Terjemahan Paul A. Rajoe, PT Bhuana ilmu)
M. Idrus Taba (Ed), 2010, Esai-Esai Pemikiran, 62 Tahun FEUH, Pustaka Pena Press, Makassar
ISEI, 2005, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-2005) , Seri Buku 5
PSKMP-UNHAS, 2002, Participatory Local Social development Planning (PLSDP)
Dorling Kindersley Limited, 2012, THE ECONOMICS BOOK
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Mengenai Kami

Foto saya
Jika Ionia, tempat bermulanya pemikiran Yunani, dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan Barat, maka diharapkan kehadiran Rumah Baca Philoshopia dan taman baca lainnya yang ada di Makassar akan menjadi spirit dan benih revolusi paradikmatik di Kota Anging Mamiri ini.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Rumah Baca Philosophia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template